Kamis, 21 Januari 2010
PENYAKIT JANTUNG KORONER
Hipertensi Penyebab Terbesar Penyakit Jantung
Kabag Pemasaran Laboratorium Klinik Cito Pusat Semarang, Dra Dyah Puspitawati menjelaskan, banyak eksekutif yang mengejar prestasi, tapi tak sedikit yang melupakan kesehatannya. Akibatnya, meski belum lama menduduki jabatan eksekutif, perutnya sudah membuncit. Mendadak terserang hipertensi dan penyakit lain yang tak disadari semasa sehat. Karena itu, Cito berkepentingan untuk memikirkan kesehatan masyarakat secara luas. Hadir sebagai konsultan Cito, Dr P Kusnanto Sp PD.
Menurut dr Hisyam Attamimi, diabetes mellitus/kencing manis, merusak hampir seluruh pembuluh darah tubuh, termasuk pembuluh darah koroner jantung dan merusak otot pompa jantung serta organ tubuh lainnya. ''Efek gangguan dari penyakit kencing manis ini dapat lebih mudah dimengerti dengan menggambarkan penyakit ini dengan simbol penyakit gula yaitu 'rayap','' ungkapnya.
Selain itu, kata Hisyam, perokok secara statistik 90% penderita jantung koroner, yaitu perokok berat. Diduga rokok merusak pembuluh darah yang ada dan akhirnya menyebabkan penyakit jantung. ''Perlu juga diketahui, rokok pun penyebab kanker paru terbesar pada pria,'' tambahnya.
Risiko ke Empat
Di bagian lain, menjawab pertanyaan peserta yang kebanyakan para eksekutif muda itu, dr Hisyam Attamimi menjelaskan, gangguan lemak atau hipercholesterol merupakan faktor risiko ke empat penyakit jantung. Hal ini disebabkan oleh makan yang berlebihan, dengan komposisi lemak yang tidak berimbang. ''Kelebihan kolesterol ini akan menyebabkan timbunan lemak pada pembuluh darah sehingga akan mengganggu jantung,'' paparnya.
Dr Hisyam mengatakan, pengobatan hipertensi yang mengarah ke penyakit jantung tergantung pada penyebab yang disebut tadi dan juga obat-obat yang membantu kerja jantung. Makan makanan yang rendah kadar garamnya, hidup santai dan cukup olahraga. Untuk diabetes, diet pantang gula dan makan dalam porsi cukup serta stop merokok, pantang makanan berlemak, periksa tekanan darah, kolesterol, HDL, LDL, trigliserida, serta gula darah secara teratur.(E1-34i )
Sumber: http://www.suaramerdeka.com/harian/0309/08/dar3.htm
Rabu, 23 Desember 2009
Komplikasi Hipertensi dengan Diabetes
dan retinopati penderita diabetes khususnya. Pasien dengan diabetes tipe 1 biasanya normontensif dari adanya nepropati, tetapi tekanan darah meningkat di tahun pertama hingga kedua setelah serangan nepropati pertama. Jadi, hipertensi pada pasien dengan diabetes tipe 2 biasanya berasal dari parensimal ginjal (Saseen dan Carter, 2005a). Adapun salah satu penyebab terjadinya hipertensi adalah resistensi insulin/hiperinsulinemia. Kaitan hipertensi primer dengan resistensinsulin telah diketahui sejak beberapa tahun silam, terutama pada pasien gemuk. Insulin merupakan zat penekan karena meningkatkan kadar katekolamin dan reabsorpsi natrium (Gray, dkk., 2006). Hubungan antara hipertensi dan diabetes tipe 2 lebih kompleks dan tidak berkaitan dengan nepropati. Pada diabetes tipe 2, hipertensi seringkali bagian dari sindrom metabolik dari resistensi insulin. Hipertensi mungkin muncul selama beberapa tahun pada pasien ini sebelum diabetes mellitus muncul. Hiperinsulinemia memperbesar patogenesis hipertensi dengan menurunkan ekskresi sodium pada ginjal, aktivitas stimulasi dan tanggapan jaringan pada sistem saraf simpatetik, dan meningkatkan resistensi sekeliling vaskular melalui hipertropi vaskular. Penatalaksanaan yang giat dari hipertensi (<130/80 mmHg) mengurangi perkembangan komplikasi makrovaskular dan mikrovaskular (Saseen dan Carter, 2005a).
Mellitus.
a. Terapi non farmakologi
Tujuan pengobatan hipertensi pada diabetes adalah untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas akibat hipertensi sendiri serta akibat diabetesnya. Dalam penanganan hipertensi pada diabetes mellitus, diperlukan perhatian khusus oleh karena penyandang diabetes mellitus mempunyai problem khusus seperti nefropati, retinopati, gangguan serebrovasakular, obesitas, hiperinsulinemia, hipokalemia, hiperkalemia, impotensi, penyakit vaskular perifer, neuropati autonom, dan dislipidemia. Pengobatan non farmakologi berupa pengurangan asupan garam, penurunan berat badan untuk pasien gemuk, dan berolah raga (Bakri, 2004).
Penanggulangan farmakologi dilakukan secara individual dengan memperhatikan berbagai aspek pasien. Oleh karena penyandang diabetes mellitus mempunyai kelainan metabolik, hal ini harus diperhatikan dalam pemilihan obat. Obat antihipertensi yang ideal untuk penyandang diabetes mellitus sebaiknya memenuhi syarat- syarat yaitu :
1). Efektif menurunkan tekanan darah
2). Tidak mengganggu toleransi glukosa atau mengganggu respons terhadap hipo-hiperglikemia.
3). Tidak mempengaruhi fraksi lipid.
4). Tidak menyebabkan hipotensi postural, tidak mengurangi aliran darah tungkai,tidak meningkatkan risiko impotensi.
5). Bersifat kardio-protektif dan reno-protektif (Bakri, dkk., 2004).
Adapun obat yang digunakan untuk pasien hipertensi dengan
diabetes mellitus adalah sebagai berikut :
(1) ACE Inhibitor.
ACE inhibitor sangat dianjurkan dalam mengendalikan diabetes. Obat ini merupakan pilihan pertama untuk penyakit hipertensi dengan kondisi diabetes. Rekomendasi ini berdasarkan fakta yang menunjukkan penurunan hipertensi yang berhubungan dengan komplikasi, termasuk penderita sakit jantung, peningkatan penyakit ginjal, dan stroke. Terapi ACE inhibitor mungkin merupakan bahan antihipertensif yang sangat penting bagi pasien diabetes (Saseen dan Carter, 2005a).
Beberapa studi mengatakan bahwa ACE inhibitor mungkin lebih efektif mengurangi risiko kardiovaskular dari anti hipertensi lain. Pada diabetes tipe 2 ACE inhibitor lebih baik dari CCBs, bagaimanapun satu dari penelitian UKPDS menemukan captropil sebanding dengan atenolol dalam mencegah kejadiaan kardiovaskular pada pasien diabetes tipe 2. ACE inhibitor mengurangi kematian dan kesakitan pada pasien dengan gagal ginjal dan mengurangi penyakit gagal ginjal kronik. Selain itu ACE inhibitor mengurangi aldosteron dan meningkatkan konsentrasi potasium (Saseen dan Carter, 2005b). ACE inhibitor amat berguna untuk nefropati diabetik, dimana dilatasi arteriol eferen memperlambat penurunan progresif fungsi ginjal dan dapat mengurangi proteinuria. Juga dapat memperbaiki sensivitas insulin dan tanpa efek pada lipid atau urat dalam serum (Gray, dkk., 2006). Keuntungan tersebut diduga terjadi karena perbaikan hemodinamika intrarenal, dengan penurunan tahanan arterioler eferen glomeruler dan hasil penurunan tekanan kapiler intraglomeruler (Benowitz, 2002). Angiotensin-converting Enzyme inhibitor (ACE inhibitor) merupakan Obat
yang mempunyai efek vasodilator yang membantu menurunkan tekanan darah dengan menghambat substansi dalam darah yang menyebabkan pembuluh darah akan mengerut (konstriksi). Beberapa studi baru-baru ini menyatakan bahwa golongan obat ini lebih baik dari pada lainnya untuk mencegah stroke, penyakit jantung dan penyakit ginjal pada pasien-pasien (terutama mereka yang diabetes) dengan faktor risiko untuk penyakit vaskular / pembuluh darah. Obat-obatan ini juga bermanfaat pada pasien dengan yang telah menderita penyakit jantung (Anonim, 2003).
Studi Heart Outcomes Prevention Evaluation (HOPE) telah menilai sekitar 9.000 pasien yang pada risiko tinggi untuk kardiovaskular atau mempunyai sakit diabetes selama 4 sampai 6 tahun. Mereka mengacak ramipril (hingga 10 mg tiap hari) atau placebo. Sangat menarik, pasien ini tidak perlu semua yang punya hipertensi (139/77 mmHg). Kebanyakan dari pasien berisiko tinggi ini mempunyai CAD (Coronary Artery Diease) (81%), hiperkolesterolemia (66%), MI (Myocardial Infarction) sebelumnya (53%), atau diabetes (38%, kebanyakan tipe 2). Titik akhir utama (komposit dari MI, stroke, atau kematian karena kardiovaskular) berkurang 32% dengan ramipril (P<0,001). Substudi HOPE menunjukkan bahwa pada 3.577 pasien diabetes, ramipril mengurangi kardiovaskular secara signifikan dan neuropati yang jelas. United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS) mengelompokkan diabetes tipe 2 dalam beberapa pemeriksaan klinis. Sama dengan penemuan dari pemeriksaan yang lain, komplikasi berkurang dengan kadar tekanan darah yang lebih rendah. Keuntungan tambahan dari ACE inhibitor pada diabetes adalah ACE inhibitor tidak mempunyai efek biokimia yang merugikan pada regulasi glukosa seperti agen yang lainnya. Selain itu, bukti menunjukkan bahwa ACE inhibitor lebih baik jika dibandingkan diuretik dalam mengurangi risiko kardiovaskular pada diabetes. Demikian pula, ketika ACE inhibitor secara langsung dibandingkan dengan CCB, ACE inhibitor menunjukkan reduksi yang lebih baik pada kardiovaskular. Hasil dari Fosinopril versus Amlodpine Cardiovaskular Events Randomized Trial (FACET) dan pemeriksaan Appropriate Blood pressure Control in Diabetes (ABCD) menunjukkan bahwa ACE inhibitor lebih mencegah kardiovaskular dibandingkan CCB (Saseen dan Carter, 2005a).
ARB mempunyai kemiripan dengan ACE inhibitor yaitu merupakan obat pilihan pertama dalam pengobatan hipertensi dengan kondisi diabetes (Vijan dan hayward., 2003). ARB lebih disukai sebagai bahan pertama untuk mengontrol hipertensi pada diabetes. Secara farmakologis, ARB akan memberikan neproproteksi pada vasodilasi dalam efferent arteriol dari ginjal selain itu ARB juga meningkatkan sensitifitas insulin. Semua pasien diabetes dan hipertensi seharusnya dirawat dengan resimen antihipertensif yaitu ARB (Saseen dan Carter 2005b). Selain itu Angiotensin II adalah vasokonstriktor dan memacu produksi aldosteron, sehingga menyekat produksinya (ACE inhibitor) atau terikat pada reseptornya (penyekat reseptor A II), menurunkan resistensi vaskular perifer, dengan efek minimal atau tanpa efek terhadap denyut jantung, atau volume cairan tubuh (Gray, dkk., 2006). ARBs digunakan untuk mengurangi progresi pada diabetik nefropati, diabetes tipe 2 dengan protenuria dan kejadiaan penyakit ginjal. ARBs merupakan antihipertensi yang menunjukkan bukti pengurangan kerusakan ginjal pada pasien diabetes tipe 2 dan nepropati. ADA (American Diabetes Association) merekomendasikan ARBs untuk mengurangi nepropati pada pasien hipertensi, diabetes dan protenuria (Saseen dan Carter, 2005b).
Angiotensin II reseptor blocker (ARB) merupakan golongan obat baru ini menunjukkan hasil yang cukup baik dan menjanjikan dalam menurunkan komplikasi-komplikasi yang berhubungan dengan tekanan darah tinggi. Mereka mempunyai efek yang mirip dengan ACE inhibitor meskipun lebih spesifik pada aksinya dan memiliki efek samping yang lebih sedikit. Meskipun penyekat beta, ACE inhibitor dan diuretik pada saat ini lebih sering digunakan untuk mengobati tekanan darah tinggi, angiotensin II reseptor blocker nampaknya akan lebih banyak lagi diresepkan di masa datang (Anonim, 2003).
(3) Diuretics
Perubahan metabolisme glukosa merupakan suatu komplikasi yang telah dikenal dari terapi diuretik, tetapi responya bermacam-macam. Pasien diabetes dan menunjukkan toleransi glukosa yang merusak kebanyakan eksagregat glukosa meningkat, tetapi efek ini juga terlihat pada pasien tanpa diabetes. Diabetes tidak dikontraindikasi dengan penggunaan diuretik (Saseen dan Carter, 2005a). Salah satu diuretik yang digunakan adalah tiazid yang mana tiazid mempunyai efek vasodilatasi langsung pada arteriol yang menyebabkan efek hipotensif berkelanjutan (Anonim, 2003).
Tiazide type diuretic adalah aman pada diabetes baik digunakan sendir maupun dikombinasikan. Berdasarkan temuan ini, peneliti di ALLHAT (Antihypertensive and Lipid Lowering Treatment to Prevent Heart Attack Trial) terapi yang dimulai dengan kortalidon mengurangi kegagalan pada MI (Myocardial Infarction) untuk terapi yang sama pada penggunaan lisinopril atau amlodipin. Kemungkinan kecenderungan untuk diuretik tipe tiazid adalah memperburuk hiperglikemik, tetapi kecenderungan itu dapat diperkecil dan tidak dapat menimbulkan beberapa kejadian kardiovaskular dibandingkan untuk obatobat golongan lain (Chobanian, dkk., 2004).
Hasil studi ini dalam 5 tahun kemudian, dibandingkan dengan obat lainnya yang digunakan dalam studi ini, diuretik tidak hanya lebih efektif secara signifikan dalam menurunkan tekanan darah, namun juga dalam menurunkan risiko kejadian kardiovaskular (misalnya stroke, angina, gagal jantung). Kategori penghambat alfa dihentikan pada tahun 2000 karena kejadian kardiovaskular dan perawatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan diuretik. Berdasarkan temuan ini, peneliti di ALLHAT (Antihypertensive and Lipid Lowering Treatment to Prevent Heart Attack Trial) menyimpulkan bahwa terapi obat-obatan dengan hipertensi sebaiknya dimulai dengan diuretik (Anonim, 2003). Tetapi Efek hiperglisemik dari diuretik tiazid nampaknya menunjukkan hilangnya potasium paralel. Pasien dengan penurunan konsentrasi serum potasium menunjukkan lebih mengganggu toleransi glukosa, dan suplementasi potasium dapat mencegah tiasida yang memicu hiperglisemia. Mempertahankan konsentrasi potasium serum normal pada pasien yang dirawat dengan terapi diuretik merupakan hal yang penting (Saseen dan Carter, 2005b).
(4) Beta Blocker (â-blocker).
â-blocker mengurangi serangan jantung, perkembangan penyakit ginjal, dan stroke pada pasien diabetes. Obat ini dapat menghambat sekresi insulin dan menyebabkan hiperglisemia, tetapi risiko rendah yang relatif dari efek ini biasanya lebih banyak dari pada reduksi potensial pada hipertensi yang berkaitan dengan komplikasi. Jika glukosa darah meningkat, dosis â-blocker dapat dikurangi atau dapat dilakukan terapi diabetes. Semua dapat dilakukan sehingga dapat menutup gejala hipoglisemia yang berkaitan dengan pelepasan epinefrin (misalnya, palpitasi, gemetar, rasa lapar), tetapi tidak mencegah hipoglisemia yang berhubungan dengan berkeringat. Ketika â-blocker tidak menyebabkan hipoglisemia, maka â-blocker dapat memperburuk hipoglisemia dan mungkin memperlambat proses penyembuhan dari hipoglisemia (Saseen dan Carter, 2005a).
Risiko dari pencegahan dan potensiasi hipoglisemia adalah bukan kontraindikasi yang pasti. Walaupun â-blocker merupakan yang paling baik dihindari dalam insulin bebas diabetes tipe 1, â-blocker dapat digunakan jika bahan lain gagal atau jika penyakit yang terjadi bersamaan muncul maka dibenarkan menggunakan â-blocker. Karena hipoglisemia kurang umum bagi pasien diabetes tipe 2 yang mana tidak membutuhkan insulin, â-blocker mungkin kurang menimbulkan efek merugikan pada populasi ini. Semua pasien diabetes yang menggunakan terapi â-blocker harus diawasi secara hati-hati dengan mengukur kadar glukosa secara teratur dan menargetkan pendidikan pasien mengenai bagaimana tanda dan gejala hipoglisemia berubah. â-blocker non selektif harus dihindari pada pasien diabetes yang dikontrol secara ketat, khususnya yang menerima terapi insulin (Saseen dan Carter, 2005a). (4) CCB ( Calcium Channel Blocker). CCB direkomendasikan sebagai pilihan untuk merawat hipertensi pada pasien diabetes. CCB tidak mempengaruhi sensitivitas insulin atau metabolisme glukosa dan nampak menjadi obat antihipertensif yang ideal untuk pasien diabetes dan hipertensi. Bagamanapun, bukti menunjukkan penurunan kardiovaskula dengan CCB pada pasien diabetes tidak meyakinkan sebagaimana antihipertensif yang lain (diuretik, â-blocker, ACE inhibitor, dan ARB). CCB tidak nampak berbahaya bagi manusia dengan penyakit diabetes, dan reduksi stroke adalah keuntungan yang tebukti. Meskipun demikian, CCB dianggap sebagai bahan kedua setelah diuretik tipe tiasid, â-blocker, inhibitor ACE, dan ARB. Target tekanan darah pada diabetes adalah <130/80 mmHg Karena kebanyakan pasien diabetes membutuhkan tiga atau lebih antihipertensif untuk mencapai tujuan ini, CCB merupakan bahan yang berguna dalam populasi ini, khususnya bila dikombinasikan dengan bahan lain (Saseen dan Carter, 2005a).
Penatalaksanaan terapi eklamsia
PENATALAKSANAAN HIPERTENSI PADA PENDERITA LANJUT USIA
Pada hipertensi lanjut usia, penurunan TDD hendaknya mempertimbangkan aliran darah ke otak, jantung dan ginjal. Sasaran yang diajukan pada JNCVI dimana pengendalian tekanan darah (TDS<140 mmHg dan TDD<90mmHg) tampaknya terlalu ketat untuk penderita lanjut usia. Sys-Eur trial merekomendasikan penurunan TDS < 160 mmHg sebagai sasaran intermediet tekanan darah, atau penurunan sebanyak 20 mmHg dari tekanan darah awal.
b. Modifikasi pola hidup
Mengubah pola hidup/intervensi nonfarmakologis pada penderita hipertensi lanjut usia, seperti halnya pada semua penderita, sangat menguntungkan untuk menurunkan tekanan darah. Beberapa pola hidup yang harus diperbaiki adalah :
menurunkan berat badan jika ada kegemukan, mengurangi minum alcohol, meningkatkan aktivitas fisik aerobik, mengurangi asupan garam, mempertahankan asupan kalium yang adekuat, mempertahankan asupan kalsium dan magnesium yang adekuat, menghentikan merokok, mengurangi asupan lemak jenuh dan kolesterol. Seperti halnya pada orang yang lebih muda, intervensi nonfarmakologis ini harus dimulai sebelum menggunakan obat-obatan.
c. Terapi farmakologis
Umur dan adanya penyakit merupakan faktor yang akan mempengaruhi metabolisme dan distribusi obat, karenanya harus dipertimbangkan dalam memberikan obat antihipertensi. Hendaknya pemberian obat dimulai dengan dosis kecil dan kemudian ditingkatkan secara perlahan. Menurut JNC VI1 pilihan pertama untuk pengobatan pada penderita hipertensi lanjut usia adalah diuretic atau penyekat beta. Pada HST, direkomendasikan penggunaan diuretic dan antagonis kalsium. Antagonis kalsium nikardipin dan diuretic tiazid sama dalam menurunkan angka kejadian kardiovaskuler. Adanya penyakit penyerta lainnya akan menjadi pertimbangan dalam pemilihan obat antihipertensi. Pada penderita dengan penyakit jantung koroner, penyekat beta mungkin sangat bermanfaat; namun demikian terbatas penggunaannya pada keadaan-keadaan seperti penyakit arteri tepi, gagal jantung/ kelainan bronkus obstruktif. Pada penderita hipertensi dengan gangguan fungsi jantung dan gagal jantung kongestif, diuretik, penghambat ACE (angiotensin convening enzyme) atau kombinasi keduanya merupakan ptlihan terbaik. Obat-obatan yang menyebabkan perubahan tekanan darah postural (penyekat adrenergik perifer, penyekat alfa dan diuretik dosis tinggi) atau obatobatan yang dapat menyebabkan disfungsi kognitif (agonis a 2 sentral) harus diberikan dengan hati-hati.' karena pada lanjut usia sering ditemukan penyakit lain dan pemberian lebih dari satu jenis obat, maka perlu diperhatikan adanya interaksi obat antara antihipertensi dengan obat lainnya. Obat yang potensial memberikan efek antihipertensi misalnya : obat anti psikotik tcrutama fenotiazin, antidepresan khususnya trisiklik, L-dopa, benzodiapezin, baklofen dan alkohol. Obat yang memberikan efek antagonis antihipertensi adalah: kortikosteroid dan obat antiinflamasi nonsteroid. Interaksi yang menyebabkan toksisitas adalah: (a) tiazid: teofilin meningkatkan risiko hipokalemia, lithium risiko toksisitas meningkat, karbamazepin risiko hiponatremia menurun; (b) Penyekat beta: verapamil menyebabkan bradikardia, asistole, hipotensi, gagal jantung; digoksin memperberat bradikardia, obat hipoglikemik oral meningkatkan efek hipoglikemia, menutupi tanda peringatan hipoglikemia.2 Dosis beberapa obat diuretic penyekat beta, penghambat ACE, penyekat kanal kalsium, dan penyakat alfa yang dianjurkan pda penderita hipertensi pada lanjut usia adalah sebagai berikut. Dosis obat-obat diuretic (mg/hari) msialnya: bendrofluazid 1,25-2,5, klortiazid 500-100, klortalidon 25-50,hidroklortiazid 12,5-25, dan indapamid SR 1,5. Dosis obat-oabat penyekat beta yang direkomendasikan adalah: asebutolol 400 mg sekali atau dua kali sehari, atenolol 50 mg sekali sehari, bisoprolol 10-20 mg sekali sehari, celiprolol 200-400 mg sekali sehari, metoprolol 100-2000 mg sekali sehari, oksprenolol 180-120 mg dua kali sehari, dan pindolol 15-45 mg sekali sehari. Dosis obat-obat penghambat ACE yang direkomendasikan adalah: kaptopril 6,25-50 mg tiga kali sehari, lisinopril 2,5-40 mg sekali sehari, perindropil 2-8 mg sekali sehari, quinapril 2,5-40 mg sekali sehari, ramipril 1,25-10 mg sekali sehari. Dosis obat-obat penyakat kanal kalsium yang dianjurkan adalah: amlodipin 5-10 mg sekali sehari, diltiazem 200 mg sekai sehari, felodipin 5-20 mg sekali sehari, nikardipin 30 mg dua kali sehari, nifedipin 30-60 mg sekali sehari, verapamil 120-240 mg dua kali sehari. Dosis obat-obat penyakat alfa yang dianjurkan adalah; doksazosin 1-16 mg sekali sehari, dan prazosin 0,5 mg sehari sampai 10 mg dua kali sehari.
Penyakit Darah Tinggi (Hipertensi)
Nilai normal tekanan darah seseorang dengan ukuran tinggi badan, berat badan, tingkat aktifitas normal dan kesehatan secara umum adalah 120/80 mmHG. Dalam aktivitas sehari-hari, tekanan darah normalnya adalah dengan nilai angka kisaran stabil. Tetapi secara umum, angka pemeriksaan tekanan darah menurun saat tidur dan meningkat diwaktu beraktifitas atau berolahraga.
Bila seseorang mengalami tekanan darah tinggi dan tidak mendapatkan pengobatan dan pengontrolan secara teratur (rutin), maka hal ini dapat membawa si penderita kedalam kasus-kasus serius bahkan bisa menyebabkan kematian. Tekanan darah tinggi yang terus menerus menyebabkan jantung seseorang bekerja extra keras, akhirnya kondisi ini berakibat terjadinya kerusakan pada pembuluh darah jantung, ginjal, otak dan mata. Penyakit hypertensi ini merupakan penyebab umum terjadinya stroke dan serangan jantung (Heart attack).
Penyakit darah tinggi atau Hipertensi dikenal dengan 2 type klasifikasi, diantaranya Hipertensi Primary dan Hipertensi Secondary :
Hipertensi Primary adalah suatu kondisi dimana terjadinya tekanan darah tinggi sebagai akibat dampak dari gaya hidup seseorang dan faktor lingkungan. Seseorang yang pola makannya tidak terkontrol dan mengakibatkan kelebihan berat badan atau bahkan obesitas, merupakan pencetus awal untuk terkena penyakit tekanan darah tinggi. Begitu pula sesorang yang berada dalam lingkungan atau kondisi stressor tinggi sangat mungkin terkena penyakit tekanan darah tinggi, termasuk orang-orang yang kurang olahraga pun bisa mengalami tekanan darah tinggi.
Hipertensi secondary adalah suatu kondisi dimana terjadinya peningkatan tekanan darah tinggi sebagai akibat seseorang mengalami/menderita penyakit lainnya seperti gagal jantung, gagal ginjal, atau kerusakan sistem hormon tubuh. Sedangkan pada Ibu hamil, tekanan darah secara umum meningkat saat kehamilan berusia 20 minggu. Terutama pada wanita yang berat badannya di atas normal atau gemuk (gendut).
Pregnancy-induced hypertension (PIH), ini adalah sebutan dalam istilah kesehatan (medis) bagi wanita hamil yang menderita hipertensi. Kondisi Hipertensi pada ibu hamil bisa sedang ataupun tergolang parah/berbahaya, Seorang ibu hamil dengan tekanan darah tinggi bisa mengalami Preeclampsia dimasa kehamilannya itu.
Preeclampsia adalah kondisi seorang wanita hamil yang mengalami hipertensi, sehingga merasakan keluhan seperti pusing, sakit kepala, gangguan penglihatan, nyeri perut, muka yang membengkak, kurang nafsu makan, mual bahkan muntah. Apabila terjadi kekejangan sebagai dampak hipertensi maka disebut Eclamsia.
1. Penyebab Hipertensi
Penggunaan obat-obatan seperti golongan kortikosteroid (cortison) dan beberapa obat hormon, termasuk beberapa obat antiradang (anti-inflammasi) secara terus menerus (sering) dapat meningkatkan tekanan darah seseorang. Merokok juga merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya peningkatan tekanan darah tinggi dikarenakan tembakau yang berisi nikotin. Minuman yang mengandung alkohol juga termasuk salah satu faktor yang dapat menimbulkan terjadinya tekanan darah tinggi. Stop menjadi alcoholic!
2. Penanganan dan Pengobatan Hipertensi
- a. Diet Penyakit Darah Tinggi (Hipertensi)
- Kandungan garam (Sodium/Natrium) Seseorang yang mengidap penyakit darah tinggi sebaiknya mengontrol diri dalam mengkonsumsi asin-asinan garam, ada beberapa tips yang bisa dilakukan untuk pengontrolan diet sodium/natrium ini ; - Jangan meletakkan garam diatas meja makan - Pilih jumlah kandungan sodium rendah saat membeli makan - Batasi konsumsi daging dan keju - Hindari cemilan yang asin-asin - Kurangi pemakaian saos yang umumnya memiliki kandungan sodium
- Kandungan Potasium/Kalium Suplements potasium 2-4 gram perhari dapat membantu penurunan tekanan darah, Potasium umumnya bayak didapati pada beberapa buah-buahan dan sayuran. Buah dan sayuran yang mengandung potasium dan baik untuk di konsumsi penderita tekanan darah tinggi antara lain semangka, alpukat, melon, buah pare, labu siam, bligo, labu parang/labu, mentimun, lidah buaya, seledri, bawang dan bawang putih. Selain itu, makanan yang mengandung unsur omega-3 sagat dikenal efektif dalam membantu penurunan tekanan darah (hipertensi). Pengobatan hipertensi biasanya dikombinasikan dengan beberapa obat; - Diuretic {Tablet Hydrochlorothiazide (HCT), Lasix (Furosemide)}. Merupakan golongan obat hipertensi dengan proses pengeluaran cairan tubuh via urine. Tetapi karena potasium berkemungkinan terbuang dalam cairan urine, maka pengontrolan konsumsi potasium harus dilakukan. - Beta-blockers {Atenolol (Tenorim), Capoten (Captopril)}. Merupakan obat yang dipakai dalam upaya pengontrolan tekanan darah melalui proses memperlambat kerja jantung dan memperlebar (vasodilatasi) pembuluh darah. - Calcium channel blockers {Norvasc (amlopidine), Angiotensinconverting enzyme (ACE)}. Merupakan salah satu obat yang biasa dipakai dalam pengontrolan darah tinggi atau Hipertensi melalui proses rileksasi pembuluh darah yang juga memperlebar pembuluh darah.
- http://www.infopenyakit.com/2008/01/penyakit-darah-tinggi-hipertensi.html
Senin, 21 Desember 2009
tahukah anda khasiat dari jambu biji
Jambu biji (Guava, psidium guajava linn) berasal dari Amerika Tengah. Tanaman ini dapat tumbuh baik di dataran rendah maupun di dataran tinggi. Umumnya ditanam di pekarangan dan di ladang-ladang. Pohon jambu biji merupakan tanaman perdu yang banyak bercabang, tingginya dapat mencapai 12 m. Besarnya buah bervariasi dari yang yang berdiameter 2,5 cm sampai dengan lebih dari 10 cm.
Jambu yang digemari oleh masyarakat umumnya yang berdaging lunak dan tebal, rasanya manis, berbiji sedikit dan buahnya berukuran besar. Beberapa jenis jambu biji yang diunggulkan antara lain jambu Pasar Minggu, Jambu Bangkok, jambu Palembang, jambu sukun, jambu apel, jambu sari, jambu merah dan jambu merah getas.
Beberapa jenis jambu biji yang banyak dikenal antara lain :
Bentuk buah bulat meruncing ke pangkalnya, kulit buahnya tipis dan jika matang berwarna kuning muda. Dagingnya putih, bijinya banyak. Rasanya manis dan harum baunya.
2. Jambu biji gembos atau jambu biji susu
Bentuk buahnya bulat agak lonjong dengan meruncing kepangkalnya. Kulitnya tebal dan jika buah matang berwarna agak kuning, daging buahnya putih, bijinya tidak banyak, rasa kurang manis dan harum baunya.
3. Jambu biji delima
Bentuk buah bulat dan bermoncong dipangkalnya, kulitnya agak tebal, dagingnya warna merah, banyak bijinya, rasanya manis.
4. Jambu biji Piit (pipit)
Bentuknya bulat kecil-kecil, kulitnya tipis, buah matang berwarna kuning, daging buahnya putih rasanya manis dan harum baunya.
5. Jambu biji Perawas
Bentuk bulat lonjong lebih besar dari jenis no. 1 s/d 4, kulit tebal, buah matang berwarna kuning, dagingnya merah, bijinya tidak banyak, rasanya agak asam, baunya harum seperti jambu biasanya.
6. Jambu biji sukun
Bentuknya bulat besar, kulit tebal, buah matang warna kuning, hampir tidak berbiji, rasanya hambar, harum baunya.
Diantara berbagai jenis buah, jambu biji mengandung vitamin C yang paling tinggi dan cukup mengandung vitamin A. Dibanding buah-buahan lainnya seperti jeruk manis yang mempunyai kandungan vitamin C 49 mg/100 gram bahan, kandungan vitamin C jambu biji 2 kali lipat. Vitamin C ini sangat baik sebagai zat antioksidan. Sebagian besar vitamin C jambu biji terkonsentrasi pada kulit dan daging bagian luarnya yang lunak dan tebal. Kandungan vitamin C jambu biji mencapai puncaknya menjelang matang. Selain pemasok andal vitamin C, jambu biji juga kaya serat, khususnya pectin (serat larut air), yang dapat digunakan untuk bahan pembuat gel atau jeli. Manfaat pectin lainnya adalah untuk menurunkan kolesterol yaitu mengikat kolesterol dan asam empedu dalam tubuh dan membantu pengeluarannya. Penelitian yang dilakukan Singh Medical Hospital and Research center Morrabad, India menunjukkan jambu biji dapat menurunkan kadar kolesterol total dan trigliserida darah serta tekanan darah penderita hipertensi essensial.
Kandungan gizi dalam 100 gram jambu biji disajikan pada tabel 1 sbb :
Tabel 1. Kandungan Gizi jambu biji dalam 100 gram BDD
Kandungan | Jumlah | Kandungan | Jumlah |
Energi | 49,00 kal | Vitamin A | 25 SI |
Protein | 0,90 gr | Vitamin B1 | 0,05 mg |
Lemak | 0,30 gr | Vitamin B2 | 0,04 mg |
Karbohidrat | 12,20 gr | Vitamin C | 87,00 mg |
Kalsium | 14,00 mg | Niacin | 1,10 mg |
Fosfor | 28,00 mg | Serat | 5,60 gr |
Besi | 1,10 mg | Air | 86 gram |
| | Bagian yg dapat dimakan | 82 % |
Sumber:
1.Dra. Emma S. Wirakusumah, MSc ( Buah dan sayur untuk terapi)
2. Ditjen Tanaman Pangan dan Hortikultura, 1996
Jambu biji juga mengandung tannin, yang menimbulkan rasa sepat pada buah tetapi juga berfungsi memperlancar sistem pencernaan, sirkulasi darah, dan berguna untuk menyerang virus.
Jambu biji juga mengandung kalium yang berfungsi meningkatkan keteraturan denyut jantung, mengaktifkan kontraksi otot, mengatur pengiriman zat-zat gizi lainnya ke sel-sel tubuh, mengendalikan keseimbangan cairan pada jaringan dan sel tubuh serta menurunkan kadar kolesterol total dan trigliserida darah, serta menurunkan tekanan darah tinggi (hipertensi). Menurut Dr. James Cerda dengan memakan jambu biji 0,5 - 1 kg /hari selama 4 minggu resiko terkena penyakit jantung dapat berkurang sebesar 16 %.
Dalam jambu biji juga ditemukan likopen yaitu zat nirgizi potensial lain selain serat. Likopen adalah karatenoid (pigmen penting dalam tanaman) yang terdapat dalam darah (0,5 mol per liter darah) serta memiliki aktivitas anti oksidan. Riset-riset epidemologis likopen pada studi yang dilakukan peneliti Itali, mencakup 2.706 kasus kanker rongga mulut, tekek, kerongkongan, lambung, usus besar dan dubur, jika mengkonsumsi likopen yang meningkat, khususnya pada jambu biji yang daging buahnya berwarna merah, berbiji banyak dan berasa manis mempunyai efek memberikan perlindungan pada tubuh dari beberapa jenis kanker.
http://agribisnis.deptan.go.id/web/teknopro/Leaflet%20Teknopro%20No.%2025.htm